Senin, 12 Januari 2009


BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Semua makhluk hidup tidak dapat hidup sendiri. Semua organisme hidup dalam sebuah sistem, ditopang oleh komponen yang saling berhubungan dan saling berpengaruh, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kehidupan semua jenis makhluk makhluk hidup saling mempengaruhi, dipengaruhi, serta berinterksi dengan alammembentuk satu kesatuan yang disebut Ekosistem. Cabang biologi yang mempelajari tentang ekosistem adalah ekologi.

Adanya perubahan-perubahan pada populasi mendorong perubahan pada komunitas. Perubahan-perubahan yang terjadi menyebabkan ekosistem berubah. Perubahan ekosistem akan berakhir setelah terjadi keseimbangan ekosistem. Keadaan ini merupakan klimaks dari ekosistem. Apabila pada kondisi seimbang datang gangguan dariluar, kesimbangan ini dapat berubah, dan perubahan yang terjadi akan selalu mendorong terbentuknya keseimbangan baru.

Dalam mencapai terbentuknya keseimbangan yang baru tertsebut, dalam dunia pertanian salah satunya ditemukan mekanisme alelopati yang dalam penerapannya terutama untuk mengendalikan gulma melalui penggunaan jenis tanaman non-produksi yang alelopatik terhadap gulma tanaman produksi sebagai cover crop, tanaman sela atau mulsa, atau sebagai tanaman kedua dalam sistem rotasi tanam. Selain itu juga dengan mengisolasi alelokimia untuk digunakan sebagai bahan aktif pestisida alami, dan mengembangkan tanaman produksi yang bersifat alelopatik terhadap gulma pesaingnya.

1.2 Rumusan Masalah

Dari uraian di atas maka, yang menjadi permasalahan dalam makalah ini yaitu Bagamainakah mekanisme dan penerapan serta peranan alelopati dalam bidang pertanian yang merupakan hubungan interaksi antar populasi baik yang terjadi secara langsung maupun yang tidak langsung.

1.3 Tujuan

Adapun yang menjadi tujuan dalam makalah ini yaitu; untuk mengetahui mekanisme dan penerapan serta peranan alelopati dalam bidang pertanian yang merupakan hubungan interaksi antar populasi baik yang terjadi secara langsung maupun yang tidak langsung.

1.4 Manfaat

Dengan makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Makalah ini diharapkan menjadi salah satu bahan informasi bagi masyarakat secara umum.

2. Dapat memberikan imformasi ilmiah bagi petani dan instansi terkait tentang penerapan alelopati dalam bidang pertanian dan perkebunan.

3. Sebagai bahan masukan untuk mata kuliah Ekologi Tumbuhan dan mata kuliah Fisiologi Tumbuhan tentang penerapan alelopati pada jenis tumbuhan dan tanaman.

4. Sebagai sumber informasi lanjutan bagi mahasiswa Jurusan Biologi untuk melakukan penelitian.

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Deskripsi Tentang Alelopati

Alelopati merupakan interaksi antar populasi, bila populasi yang satu menghasilkan zat yang dapat menghalangi tumbuhnya populasi lain. Contohnya, di sekitar pohon walnut (juglans) jarang ditumbuhi tumbuhan lain karena tumbuhan ini menghasilkan zat yang bersifat toksik. Pada mikroorganisme istilah alelopati dikenal sebagai anabiosa. Contoh jamur Penicillium sp. dapat menghasilkan antibiotika yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri tertentu.

Alelopati juga merupakan sebuah fenomena yang berupa bentuk interaksi antara makhluk hidup yang satu dengan makhluk hidup lainnya melalui senyawa kimia (Rohman dan I wayan Sumberartha, 2001). Sedangkan menurut Odum (1971) dalam Rohman dan I wayan Sumberartha (2001) alelopati merupakan suatu peristiwa dimana suatu individu tumbuhan yang menghasilkan zat kimia dan dapat menghambat pertumbuhan jenis yang lain yang tumbuh bersaing dengan tumbuhan tersebut. Istilah ini mulai digunakan oleh Molisch pada tahun 1937 yang diartikan sebagai pengaruh negatif dari suatu jenis tumbuhan tingkat tinggi terhadap perkecambahan, pertumbuhan, dan pembuahan jenis-jenis lainnya. Kemampuan untuk menghambat pertumbuhan tumbuhan lain merupakan akibat adanya suatu senyawa kimia tertentu yang terdapat pada suatu jenis tumbuhan.

Dalam Rohman dan I wayan Sumberartha (2001) disebutkan bahwa senyawa-senyawa kimia tersebut dapat ditemukan pada jaringan tumbuhan (daun, batang, akar, rhizoma, bunga, buah, dan biji). Lebih lanjut dijelaskan bahwa senyawa-senyawa tersebut dapat terlepas dari jaringan tumbuhan melalui berbagai cara yaitu melalui penguapan, eksudat akar, pencucian, dan pembusukan bagian-bagian organ yang mati. Anonim (tanpa tahun) menjelaskan lebih lanjut proses-proses tersebut melalui penjelasan berikut ini.

1. Penguapan

Senyawa alelopati ada yang dilepaskan melalui penguapan. Beberapa genus tumbuhan yang melepaskan senyawa alelopati melalui penguapan adalah Artemisia, Eucalyptus, dan Salvia. Senyawa kimianya termasuk ke dalam golongan terpenoid. Senyawa ini dapat diserap oleh tumbuhan di sekitarnya dalam bentuk uap, bentuk embun, dan dapat pula masuk ke dalam tanah yang akan diserap akar.

2. Eksudat akar

Banyak terdapat senyawa kimia yang dapat dilepaskan oleh akar tumbuhan (eksudat akar), yang kebanyakan berasal dari asam-asam benzoat, sinamat, dan fenolat.

3. Pencucian

Sejumlah senyawa kimia dapat tercuci dari bagian-bagian tumbuhan yang berada di atas permukaan tanah oleh air hujan atau tetesan embun. Hasil cucian daun tumbuhan Crysanthemum sangat beracun, sehingga tidak ada jenis tumbuhan lain yang dapat hidup di bawah naungan tumbuhan ini.

4. Pembusukan organ tumbuhan

Setelah tumbuhan atau bagian-bagian organnya mati, senyawa-senyawa kimia yang mudah larut dapat tercuci dengan cepat. Sel-sel pada bagian-bagian organ yang mati akan kehilangan permeabilitas membrannya dan dengan mudah senyawa-senyawa kimia yang ada didalamnya dilepaskan. Beberapa jenis mulsa dapat meracuni tanaman budidaya atau jenis-jenis tanaman yang ditanam pada musim berikutnya.

Selain melalui cara-cara di atas, pada tumbuhan yang masih hidup dapat mengeluarkan senyawa alelopati lewat organ yang berada di atas tanah maupun yang di bawah tanah. Demikian juga tumbuhan yang sudah matipun dapat melepaskan senyawa alelopati lewat organ yang berada di atas tanah maupun yang di bawah tanah (Anonim, Tanpa tahun).

2.2 Mekanisme Alelopati

Fenomena alelopati mencakup semua tipe interaksi kimia antar tumbuhan, antar mikroorganisme, atau antara tumbuhan dan mikroorganisme (Einhellig, 1995a). Menurut Rice (1984) interaksi tersebut meliputi penghambatan dan pemacuan secara langsung atau tidak langsung suatu senyawa kimia yang dibentuk oleh suatu organisme (tumbuhan, hewan atau mikrobia) terhadap pertumbuhan dan perkembangan organisme lain. Senyawa kimia yang berperan dalam mekanisme itu disebut alelokimia. Pengaruh alelokimia bersifat selektif, yaitu berpengaruh terhadap jenis organisme tertentu namun tidak terhadap organisme lain (Weston, 1996).

Alelokimia pada tumbuhan dibentuk di berbagai organ, mungkin di akar, batang, daun, bunga dan atau biji. Organ pembentuk dan jenis alelokimia bersifat spesifik pada setiap spesies. Pada umumnya alelokimia merupakan metabolit sekunder yang dikelompokkan menjadi 14 golongan, yaitu asam organik larut air, lakton, asam lemak rantai panjang, quinon, terpenoid, flavonoid, tanin, asam sinamat dan derivatnya, asam benzoat dan derivatnya, kumarin, fenol dan asam fenolat, asam amino non protein, sulfida serta nukleosida. (Rice,1984; Einhellig, 1995b). Pelepasan alelokimia pada umumnya terjadi pada stadium perkembangan tertentu, dan kadarnya dipengaruhi oleh stres biotik maupun abiotik (Einhellig, 1995b).

Alelokimia pada tumbuhan dilepas ke lingkungan dan mencapai organisme sasaran melalui penguapan, eksudasi akar, pelindian, dan atau dekomposisi. Setiap jenis alelokimia dilepas dengan mekanisme tertentu tergantung pada organ pembentuknya dan bentuk atau sifat kimianya (Rice, 1984; Einhellig, 1995b).

Mekanisme pengaruh alelokimia (khususnya yang menghambat) terhadap pertumbuhan dan perkembangan organisme (khususnya tumbuhan) sasaran melalui serangkaian proses yang cukup kompleks, namun menurut Einhellig (1995b) proses tersebut diawali di membran plasma dengan terjadinya kekacauan struktur, modifikasi saluran membran, atau hilangnya fungsi enzim ATP-ase. Hal ini akan berpengaruh terhadap penyerapan dan konsentrasi ion dan air yang kemudian mempengaruhi pembukaan stomata dan proses fotosintesis. Hambatan berikutnya mungkin terjadi dalam proses sintesis protein, pigmen dan senyawa karbon lain, serta aktivitas beberapa fitohormon. Sebagian atau seluruh hambatan tersebut kemudian bermuara pada terganggunya pembelahan dan pembesaran sel yang akhirnya menghambat pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan sasaran.

2.3 Penerapan Alelopati dalam Pertanian

Pada ekosistem pertanian alelopati dapat menurunkan atau meningkatkan produktivitas lahan, tergantung pada pembentuk alelokimia (tanaman atau gulma), organisme sasaran dan aktivitasnya. Oleh karena itu penerapannya memerlukan strategi tertentu, yang menurut Einhellig (1995a), dan Caamal-Maldonado et al. (2001) adalah mengendalikan gulma dan atau patogen melalui:

  1. Pola tanam di lapang. Untuk ini diperlukan tanaman non-produksi (yang selanjutnya disebut tanaman X), yang bersifat alelopat terhadap gulma atau patogen namun tidak terhadap tanaman produksi, dan pemanfaatannya melalui: a) rotasi tanam: dengan menanam tanaman X di antara waktu tanam tanaman produksi, b) cover crop: tanaman X ditanam sebagai tanaman penutup tanah, c) tanaman sela: X ditanam di antara tanaman produksi, atau d) mulsa: organ tanaman X yang diketahui sebagai pembentuk alelokimia dijadikan sebagai mulsa. Pemilihan pola tanam didasarkan atas sifat morfologi dan fisiologi tanaman X, organ pembentuk alelokimia, mekanisme pelepasan, sifat alelokimia dan sebagainya.
  2. Produksi pestisida alami dari alelokimia. Alelokimia yang menghambat gulma atau patogen diformulasi dan diproduksi secara marketable menjadi pestisida alami (herbisida, fungisida, bakterisida dan sebagainya).
  3. Pemuliaan tanaman untuk memperoleh kultivar tanaman produksi yang alelopatik bagi gulma pesaingnya. Pada jenis tanaman tertentu mungkin telah ada varitas alami yang bersifat demikian. Bagi jenis tanaman yang belum mempunyai, kultivar seperti ini perlu dikembangkan melalui pemuliaan tanaman secara konvensional (hibridisasi, seleksi, dan identifikasi) maupun non-konvensional (transformasi gen, fusi protoplas, dan lain-lain).

2.4 Manfaat Dan Peranan alelopati

  1. Untuk mengendalikan gulma dan penyakit
  2. Mencegah timbulnya pencemaran
  3. Menambah ketersediaan unsur hara
  4. Meminimalkan kerugian dari akibat radiasi matahari dengan pengelolaan iklim mikro, pengelolaan air dan pengendalian erosi.

Penerapan alelopati dalam pertanian secara garis besar adalah untuk mengendalikan gulma dan penyakit menggunakan bahan yang berasal dari tumbuhan atau mikroorganisme, yaitu meminimalkan serangan hama (termasuk gulma) dan penyakit pada tanaman melalui pencegahan dan perlakuan yang aman. Penggunaan pestisida yang berasal dari tumbuhan bersifat relatif aman, karena berbeda dengan bahan kimia sintetis, bahan alami mudah terurai sehingga tidak akan meninggalkan residu di tanah atau air, dan oleh karena itu tidak menimbulkan pencemaran. Penanaman tanaman produksi maupun non-produksi yang alelopatik terhadap gulma atau patogen bahkan dapat dikatakan tidak menimbulkan efek negatif terhadap lingkungan dan manusia, dan murah bagi petani sehingga petani tidak perlu menambahkan input dari luar.

Pemanfaatan tanaman non-produksi alelopatik melalui rotasi tanam, cover crop, dan tanaman sela dapat berperan ganda. Selain untuk mengendalikan gulma atau patogen, teknik ini dapat mengoptimalkan ketersediaan unsur hara, karena kedua jenis tanaman tersebut biasanya dipilih yang mempunyai kedalaman akar dan kebutuhan hara yang berbeda, sehingga masing-masing mendapatkan hara dalam jumlah cukup dan tidak terjadi eksploitasi unsur hara. Pemanfaatan sisa organ tanaman tersebut sebagai mulsa juga dapat berperan ganda, yaitu meminimalkan kerugian sebagai akibat radiasi matahari dengan pengelolaan iklim mikro, pengelolaan air dan pengendalian erosi. Dengan menutup permukaan tanah maka radiasi matahari tidak langsung mengenai tanah sehingga menurunkan suhu tanah, mengurangi evaporasi (penguapan air tanah) dan akibatnya ketersedian air tanah tetap memadai. Mulsa yang berasal dari bahan tanaman juga dapat mencegah erosi, karena humus yang berasal dari mulsa merupakan bahan organik yang memiliki retensi air yang cukup tinggi sehingga air terserap ke dalam tanah dan tidak dapat menghanyutkan permukaan tanah.

Rohman dan I wayan Sumberartha (2001) menyebutkan bahwa senyawa-senyawa kimia tersebut dapat mempengaruhi tumbuhan yang lain melalui penyerapan unsur hara, penghambatan pembelahan sel, pertumbuhan, proses fotosintesis, proses respirasi, sintesis protein, dan proses-proses metabolisme yang lain. Lebih lanjut, Anonim (tanpa tahun) menjelaskan tentang pengaruh alelopati terhadap pertumbuhan tanaman adalah sebagai berikut:

1. Senyawa alelopati dapat menghambat penyerapan hara yaitu dengan menurunkan kecepatan penyerapan ion-ion oleh tumbuhan.

2. Beberapa alelopat menghambat pembelahan sel-sel akar tumbuhan.

3. Beberapa alelopati dapat menghambat pertumbuhan yaitu dengan mempengaruhi pembesaran sel tumbuhan.

4. Beberapa senyawa alelopati memberikan pengaruh menghambat respirasi akar.

5. Senyawa alelopati memberikan pengaruh menghambat sintesis protein.

6. Beberapa senyawa alelopati dapat menurunkan daya permeabilitas membran pada sel tumbuhan.

7. Senyawa alelopati dapat menghambat aktivitas enzim.

BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Alelopati merupakan sebuah fenomena yang berupa bentuk interaksi antara makhluk hidup yang satu dengan makhluk hidup lainnya melalui senyawa kimia, alelopati juga merupakan suatu peristiwa dimana suatu individu tumbuhan yang menghasilkan zat kimia dan dapat menghambat pertumbuhan jenis yang lain yang tumbuh bersaing dengan tumbuhan tersebut. Kemampuan untuk menghambat pertumbuhan tumbuhan lain merupakan akibat adanya suatu senyawa kimia tertentu yang terdapat pada suatu jenis tumbuhan.

Pemanfaatan mekanisme alelopati terutama untuk mengendalikan gulma dan/atau patogen. Tumbuhan yang bersifat sebagai alelopat mempunyai kemampuan bersaing yang lebih hebat sehingga pertumbuhan tanaman pokok lebih terhambat, dan hasilnya semakin menurun. Namun kuantitas dan kualitas senyawa alelopati yang dikeluarkan oleh tumbuhan dapat dipengaruhi oleh kerapatan tumbuhan alelopat, macam tumbuhan alelopat, saat kemunculan saat kemunculan tumbuhan alelopat, lama keberadaan tumbuhan alelopat, habitus tumbuhan alelopat, kecepatan tumbuh tumbuhan alelopat, dan jalur fotosintesis tumbuhan alelopat (C3 atau C4).

4.2 Saran

Tanaman yang bersifat alelopatik dapat diperoleh di lingkungan sekitar. Seperti telah dikemukakan di depan, secara praktis tanpa memahami konsep ilmiahnya, sebenarnya banyak petani telah menerapkan prinsip alelopati dalam kegiatan pertanian. Misalnya yang terjadi di beberapa wilayah Kabupaten Purbalingga Jawa Tengah, petani memanfaatkan kulit buah jengkol yang banyak terdapat di daerahnya dan tidak bernilai ekonomis untuk mengendalikan gulma padi. Hal itu dilakukan dengan menebar kulit buah jengkol pada permukaan sawah. Jadi tanaman yang bersifat alelopatik kemungkinan besar dapat diperoleh di lingkungan sekitar. Olehnya itu marilah kita bersama-sama mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya lokal, dengan penggunaan input luar hanya bila diperlukan untuk peningkatan produksi pertanian dan perkebunan kita, sehingga mampu meminimalkan kerusakan lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA

Caamal-Eldonado JA, Jimenez-Osornio JJ, Torres-Barragin A, Anaya AL. 2001. The use of allelopathic legume cover and mulch species for weed control in cropping system. Agronomy Journal. 93: 1. 27 – 36.

Einhellig FA. 1995a. Allelopathy: Current status and future goals. Dalam Inderjit, Dakhsini KMM, Einhellig FA (Eds). Allelopathy. Organism, Processes and Applications. Washington DC: American Chemical Society. Hal. 1 – 24.

Einhellig FA. 1995b. Mechanism of action of allelochemicals in allelopathy. Dalam Inderjit, Dakhsini KMM, Einhellig FA (Eds). Allelopathy. Organism, Processes and Applications. Washington DC: American Chemical Society. Hal. 96-116.

Plucknert, Winkelmann DI. 1992. Technology for sustainable agriculture. Scientific American. 182 – 186.

Reijntjes C, Haverkort B, Waters-Bayers A. 1999. Pertanian Masa Depan. Diterjemahkan oleh Y. Sukoco. Yogyakarta: Kanisius.

Rice EL. 1984. Allelopathy. Second Edition. Orlando FL: Academic Press.

Weston LA. 1996. Utilization of allelopathy for weed management in agrosystem. Agronomy Journal. 88:6. 860 – 866.

http://iqbalali.com/2008/01/23/alelopati/